Bianca Come Il Latte, Rossa Come Il Sangue : Italian Book Best Seller

Bianca Come Il Latte, Rossa Come Il Sangue 'White As Milk, Red As Blood'

Novel ini menjadi novel Italia pertama yang saya miliki. Selama ini koleksi saya hanya novel Indonesia, Jepang, Korea Selatan dan Amerika. Novel ini sungguh istimewa bagi saya. Terlepas dari isinya yang juga istimewa, pertemuan dengan novel ini pun istimewa 🙂

Jika diartikan ke dalam bahasa inggris, novel fiksi ini berjudul ‘White As Milk, Red As Blood‘. Putih seperti susu, merah seperti darah. Sangat menarik judul yang tertulis di covernya. Saya tidak tahu apa-apa mengenai buku ini. Feeling saya mengatakan novel ini layak dibeli karena terdapat label ‘Telah diterjemahkan ke dalam 20 Bahasa’. Untuk kategori sebuah novel fiksi, bisa diterjemahkan dalam 5 bahasa sungguh bagus. Apalagi 20 bahasa. Hal itu menandakan bahwa bobot novel fiksi ini perlu dicermati. Hal tersebut yang membuat saya tidak ragu untuk membawanya pulang dari rak toko buku.

Alessandro D’Avenia adalah penulisnya. Pria Italia bermata biru yang memiliki rambut ikal nan seksi. Untuk profil selengkapnya mengenai Alessandro tidak saya ketahui karena bahasa Italia, jujur, yang tidak saya mengerti. Walaupun google translate ada tetapi tindakan yang melelahkan hanya ingin ‘kepo’ tentang penulisnya. Alessandro menerbitkan novel ini tahun 2010, dan baru 2015 bisa diterbitkan di Indonesia.

Novel ini -menurut saya- bisa dinikmati oleh usia 12 tahun ke atas. Isinya sangat mudah dipahami, walaupun mungkin kita sedikit akan diajak berfilsafat ria, namun menurut saya bisa kita pahami secara perlahan. Tidak mengandung hal berbau vulgar. Cocok untuk usia remaja, malah sangat dianjurkan.

Leonardo, sebut saja ia dengan Leo. Remaja lelaki yang berusia 16 tahun. Leo seperti remaja lain pada umumnya. Membenci sekolah, karena ia pikir sekolah berisi dengan sekumpulan vampir yang siap untuk menghisap darah dari siswa-siswanya. Hal itu hanya bayangan Leo semata yang memandang sekolah adalah tempat yang, sangat, tidak menyenangkan. Penulis sangat piawai menggambarkan karakter Leo sebagai remaja yang bisa dikatakan ‘ababil’ dalam pencarian ‘identitasnya’. Memang tidak jauh berbeda dengan yang dialami semua orang pada saat menginjak remaja. Menentukan diri sendiri untuk dibawa kemana kelak tidak terelakkan lagi bagi seusia Leo. Namun Leo masa bodoh terhadap semua itu. Ia hanya senang nongkrong dengan teman-temannya, bermain musik untuk hiburan, kebut-kebutan dengan motor satu-satunya, dan bermain sepak bola.

Leo bukanlah anak pintar. Bukan berarti bahwa ia bodoh. Tidak juga. Semacam orang yang belum mengerti siapa dirinya sendiri. Tidak ada semangat atau tepatnya tidak memiliki impian. Dan hal tersebut berubah ketika kelasnya mendapat guru filsafat pengganti yang baru. Leo menjulukinya ‘si pemimpi’. Dia berbeda dengan guru-guru lainnya. Leo sangat ‘amat’ tidak suka kepada guru tersebut. Kalian tahukan, benci itu memiliki batas yang amat tipis dengan cinta. Dan kita bisa menebaknya saat awal perkenalan Leo dan si pemimpi yang berujung pada akhir yang bagaimana. Tetapi, penulis tidak menyorot si pemimpi ini terlalu banyak dan terlalu sedikit. Penulis tidak berniat menjadikan si pemimpi sebagai tokoh penting kedua. Hal itu nampak jika kalian membacanya sampai akhir. Si pemimpi hanya muncul pada momen yang dirasa memang seharusnya muncul, seperti di kelas mata pelajarannya. Dia tidak muncul tiap kali ketika Leo harus mengahadapi berbagai kerumitan hidupnya. Disinilah saya suka dengan Alessandro dalam cara berceritanya.

Kenapa si pemimpi dijuluki Leo seperti itu? Hal itu tidak terlepas dari gaya mengajar si pemimpi dalam menjelaskan pelajarannya. Dia banyak memberi tugas tetapi tidak dimasukkan dalam nilai. Dia suka bercerita dan ceritanya membuat seisi kelas terdiam untuk menyimak. Dia seringkali menyebut tentang impian. Inilah yang membuat Leo tidak menyukainya. Karena Leo sendiri tidak tau apa impiannya. Sampai ia sadar bahwa impiannya adalah ‘rambut merah’. Sampai pada akhirnya Leo tahu bahwa ‘rambut merah’ tidak akan selalu ada di dunia. Bagaimana ia akan melanjutkan impiannya walaupun teman dekatnya, Silvi, selalu ada didekatnya.

Hidup terus saja berjalan maju dan memainkan lagunya, tak peduli kau suka atau tidak. Kau hanya bisa menaikkan dan menurunkan volumenya.

Penuturan-penuturan Alessandro dalam balutan kalimatnya mengajak kita untuk tetap diam dengan tenang dan mendengarkan apa yang disampaikannya dalam lembaran putih. Menggunakan alur maju dalam tiap tulisannya membuat kita seolah mengikuti setiap jejak langkah Leo dalam melewati usia 16 tahunnya. Novel ini tidak akan berakhir dengan Leo yang dewasa. Alessandro tidak mau mengajak kita melompati waktu yang sangat jauh ke depan. Cukup hanya rentang usia 16 dan menuju 17 tahun dari tokoh utamanya, Leo. Alessandro tidak lupa menampilkan kehidupan Leo di rumah. Bagaimana hubungannya dengan orangtuanya. Serta perkenalan Leo tentang ‘cinta’.

Saya paham kenapa novel ini patut diperhitungkan untuk menjadi novel terbaik (sebenarnya sudah masuk ke dalam kategori tersebut). Bagi kita yang telah dewasa atau bagi pembaca usia 30an keatas, tidak akan merugi bila mengikuti kisah Leo. Kita semacam belajar lagi untuk menghadapi bagaimana bila kita berhadapan dengan orang seusia Leo. Entah itu adik, keluarga, murid atau anak kita kelak. Hanya satu yang membuat saya tidak nyaman saat membaca novel terjemahannya. Saya masih merasa masih kurang puas pada hasil terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia. Saya tidak tahu tepatnya dimana, tetapi ketika menamatkan semua isinya, saya masih menemukan, tidak sedikit, bahasa yang kurang tepat. Walaupun saya sendiri tidak ahli menerjemahkan, tapi saya cukup lihai untuk memperhatikan tulisannya.

Kehidupan ini memang selalu menenun sebuah pakaian dengan banyak warna buatmu, yang harus dibayarnya dengan malam – malam tanpa memejamkan mata, malam – malam yang sarat dengan sisa – sisa kehidupan – kehidupan lainnya, yang dijalin lagi bersama – sama.

Paradise Kiss (2011) : It’s About Passion in The Life

paradise-kiss-2011

Berdasarkan pada Manga dengan judul yang sama, Paradise Kiss, merupakan hasil karya Ai Yazawa. Manga ini terbit pertama kali apada tahun 1999 dan kemudian pada tahun 2005 dibuatlah animenya karena ketenaran Paradise Kiss yang melalang buana ke beberapa negara di benua Eropa dan Amerika.

Saya belum pernah membaca manganya ataupun menonton animenya. Saya tahu mengenai Paradise Kiss (Live Action) dari daftar list box office di negaranya pada saat pertama kali diluncurkan di tahun 2011. Saat itu, mood saya sedang ingin mencari rekomendasi film Jepang yang sangat layak untuk ditonton. Berjumpalah saya dengan poster yang serba dominan pink dari Paradise Kiss the movie.

Secara garis besar (katanya di media sosial), film ini bercerita sama dengan manga dan animenya. Hanya saja ada perbedaan di bagian endingnya yang sempat menimbulkan reaksi pro dan kontra dari para penikmat manga dan animenya. Saya belum membuktikan sendiri apa perbedaannya. Dan saya tidak mau menyebutkan perbedaan tersebut hanya dari apa yang dikatakan di media sosial. Saya tidak mempermasalahkan bila memang berbeda. Sutradara dan Penulisnya pasti punya alasan sendiri kenapa endingnya berbeda kan?

Bercerita mengenai kehidupan Yukari Hayasaka, seorang siswa SMA, yang kehidupannya hanya monoton dengan belajar dan belajar. Hal tersebut dia jalani karena ingin menyenangkan hati ibunya yang merupakan single parents. Di bagian ini terkadang saya sejenak berpikir, apa bedanya saya dengan Yukari sewaktu SMA? Seingat saya, dulu, orangtua menekankan pentingnya belajar dan belajar untuk masuk Universitas favorit dan terpenting lulus Ujian Akhir Nasional. Kehidupan Yukari tiba-tiba saja ‘tergoncang’ sejak bertemu dengan Arashi Nagase di jalan yang membuatnya takut dan pingsan di tangan Isabella. Saat mulai tersadar, dia bangun di sebuah studio Paradise Kiss milik sekumpulan anak-anak muda yang terjun dalam dunia fashion, Arashi Nagase, Isabella, Miwako Sakurada dan George Koizumi sebagai desainernya.

Tanpa terduga, Yukari dipilih menjadi model mereka dalam pementasan fashion kelulusan di Yakazawa Academy of Arts. Tentu saja hal tersebut ditolak oleh Yukari karena dianggap hal yang tidak penting baginya. Usaha George dan kawan-kawannya cukup ampuh untuk menarik Yukari ke dalam dunia yang baru baginya. Dimulai dengan seringnya Yukari absen dari sekolah, George yang mengajaknya ke sebuah hotel dan mengakibatkan pertengkaran hebat dengan Yukari, pertengkaran dengan ibunya yang membuat Yukari pergi dari rumah, dan terjunnya Yukari dalam sesi pemotretan karena tuntutan mencari nafkah bagi dirinya sendiri. Semua yang dialami Yukari membuat ia tersadar sendiri, apa yang sebenarnya dia inginkan dan siapa dia sebenarnya. Yukari menjadi ingat apa yang pernah George katakan pada dirinya saat dia menolak mentah-mentah menjadi modelnya, ‘You don’t know who you are!”

Pada akhirnya Yukari dapat membawakan gaun rancangan George dalam acara fashion kelulusan. Saat itu dia tersadar apa yang benar-benar dia inginkan untuk dirinya sendiri. Yukari juga mengerti kenapa cintanya selama 3 tahun kepada Hiroyuki Tokumori tidak pernah tersampaikan. Untuk memantapkan langkahnya menuju apa yang diinginkan, Yukari harus berjalan sendiri di jalannya. Tanpa ada George, Isabella, Arashi dan Miwako. Perpisahannya dengan George membuat ia tersadar akan satu hal yang dirasakannya.

Segi visual yang disajikan dalam Paradise kiss sangat memanjakan mata. Secara konsep visual keseluruhan saya acungi jempol. Tema fashion yang diangkat juga menyegarkan mata kita, terutama bagi kaum hawa seperti saya. Pemilihan karakter untuk George dan Yukari saya nilai tepat. Keiko Kitagawa yang berperan sebagai Yukari notabene adalah seorang model profesional. Maka, untuk akting sebagai model tak diragukan lagi. Osamu Mukai sebagai George juga apik dalam mendalami karakternya. Hanya saja saya sedikit terganggu bila George tidak memakai topi. Tampak tidak keren.

Film arahan sutradara Takehiko Shinjo ini bisa menarik penonton hingga menjadi box office di Jepang. Penuangan cerita dari 5 jilid manganya dapat tertuang secara sederhana ke dalam film tanpa menggunakan akting yang dilebih-lebihkan seperti film adaptasi manga pada umumnya. Pemilihan Lagu-lagu dari Yui dan Sweetbox yang dijadikan sebagai soundtrack tampak sangat klop dengan genre film yang diusung.

“You don’t have to walk straight. Sway, or turn if you like, as long as it’s your own walk.Walk on your own feet.”

A Walk To Remember : The First Time I Knew About Nicholas Sparks

a walk to remember

Sekitar antara tahun 2002-2003 ketika saya masih duduk di bangku SMP, saya menonton film A Walk To Remember (selanjutnya akan saya singkat AWTR). Saya tidak ingat persis dimana dan bagaimana saya bisa menonton film ini. Yang pasti tidak di bioskop. Saat itu di kota tempat saya tinggal tidak ada bioskop. Dan tidak mungkin saya pergi keluar kota dengan usia yang masih ababil (pra-remaja) untuk mendapat ijin ortu hanya sekedar menonton film. Well, saya benar-benar tidak ingat bagaimana perkenalan saya dengan film ini.

Pertama kali saya tahu tentang AWTR adalah sebuah film. Dan baru saya ketahui saat saya menikmati perjalanan filmnya, ternyata AWTR adalah novel karya Nicholas Sparks. Disinilah awal mula saya mulai kenal dengan penulis Nicholas dan mulai menyukai karya-karya selanjutnya. Nicholas adalah penulis yang mempunyai ciri khas, yaitu karya romance-nya. Semua karya novelnya sampai sekarang yang saya ketahui ada sekitar 10, dan kesemuanya bertema romance dengan keunikan masing-masing dan tidak membosankan.

Dengan pengetahuan yang kosong tentang penulis novel AWTR, para pemainnya bahkan bagaimana sinopsis jalan ceritanya, saya hanya mengalir saja dan hanya berniat sekedar menonton saja. Mengisi waktu luang saja saat itu. Tanpa terduga, di bagian akhir jalan cerita film selesai, saya merasa puas sekali. Secara keseluruhan saya sangat menikmati semua yang ada dalam film AWTR. Saya mulai suka Mandy Moore dengan suaranya yang lembut, dan saya menjadi penggemar karya Nicholas Sparks.

Beberapa tahun setelah saya menonton film AWTR, saya membeli novel AWTR dan menamatkannya hanya dalam 2 hari. Novelnya tidak tebal dan besar. Ukuran sedang dengan ketebalan yang cukup sedikit untuk ukuran sebuah novel. Feel yang saya dapatkan setelah menonton filmnya dan membaca novelnya sangat berbeda. Biasanya, bila kita sudah membaca novel yang kemudian kita menonton karya adaptasinya kedalam layar lebar, pasti kita akan lebih memilih novelnya. Karena tidak semua adegan dalam novel tertuang semua ke dalam film. Seperti yang saya rasakan di semua serial Harry Potter. Tetapi, untuk AWTR hal tersebut berbeda. Karena antara novel dan film dibuat setting yang berbeda walaupun inti cerita tetap sama.

Berkisah mengenai Landon Carter, seorang siswa SMA, yang dikenal dengan kenakalannya sebagai seorang remaja. Di usianya yang akan memasuki pendidikan perguruan tinggi, sewajarnyalah bila Landon harus memikirkan bagaimana masa depannya. Dalam film dan novel, Landon adalah anak remaja nakal ‘akut’. Di film digambarkan dengan jelas kenakalannya seperti pulang malam, mabuk, dan berbuat sesuatu yang ekstrim untuk mempermainkan temannya (dalam novel hal ini tidak ada). Landon tinggal di sebuah kota kecil dimana masyarakatnya penganut Kristen yang menjunjung tinggi norma agama.

Jamie Sullivan, tetangga dalam satu area kota yang sama dengan Landon dan juga teman mulai dari sekolah dasar, adalah perempuan yang dikenal dengan ketaatannya terhadap Injil. Di sekolah, Jamie selalu menggunakan sweeter dan membawa Injilnya. Dalam film, Injil tidak menjadi sorotan utama seperti dalam novel. Jamie yang suka menyanggul rambutnya dalam novel, berbeda dalam film. Disinilah yang membuat saya baru sadar bahwa setting waktu dalam novel sekitar tahun 50-an. Dan film mengambil waktu sekitar tahun 80-an. Hal inilah yang membuat penikmat AWTR lebih suka film (setelah membaca resensi banyak orang di dunia maya) daripada novel.

Dunia Landon dan Jamie sungguh berbeda. Landon dan teman-temannya sering mengolok bagaimana penampilan Jamie dan keluarganya di belakangnya. Jamie pun menganggap hal itu tidaklah penting karena Jamie orang yang memang sangat baik. Pada akhirnya Landon harus mengikuti kelas drama yang menjadikannya sebagai pemeran utama pria dalam pementasan drama tersebut. Karena kelas drama inilah, Landon dan Jamie memiliki banyak waktu mengobrol. Landon yang tidak terbiasa dengan kelas drama harus meminta bantuan pada Jamie agar penghafalan naskah menjadi lancar. Jamie yang menerima permintaan tolong Landon mengajukan satu syarat. Jamie meminta Landon untuk tidak jatuh cinta padanya. Well, bisa ketebak bagaimana akhirnya setelah pementasan drama selesai. Yap, Landon termakan sendiri dengan janjinya. Dia jatuh hati pada Jamie. Apa yang dipikirkannya tentang Jamie selama ini adalah salah. Jamie yang dikenal dengan orang yang suci dan penuh dengan ajaran Tuhan, sebenarnya adalah remaja normal pada umumnya. Sifat baiknya adalah nilai tambah pada dirinya.

Jamie yang mengajukan syarat untuk jangan ‘jatuh cinta’ padanya memiliki alasan tersendiri kenapa dia mengucapkannya. Disaat Landon merasa dirinya berubah menjadi orang berbeda dan lebih baik sejak mengenal dekat Jamie harus menerima kenyataan yang pahit mengenai rahasia yang dimiliki Jamie. Berbagai upaya dilakukan Landon untuk Jamie agar perempuan yang dicintainya bisa mewujudkan apa yang menjadi keinginannya. Perjalanan bersama Jamie membuat Landon bisa mengerti apa arti dari sebuah masa depan, harapan dan cinta yang terbentang luas di depannya.

“Love is like the wind. We can’t see it, but we can feel it.”

Secara garis besarnya untuk AWTR, saya lebih suka versi film daripada novelnya. Lebih bisa menikmati dan mendapatkan pesan yang disampaikan. Namun hal tersebut tidak mengurangi kesukaan saya pada karya-karya novel Nicholas lainnya. Lagu-lagu yang menjadi soundtrack filmnya pun sangat recommended. Mandy Moore sebagai pemain utama pemeran Jamie adalah seorang penyanyi. Dan tentu saja, lagu-lagu dalam film AWTR dibawakannya dalam harmonisasi yang pas. Bagian soundtrack yang sangat saya suka adalah ketika Mandy menyanyikan ‘Only Hope’ milik Switchfoot saat pementasan drama dan ketika Landon dan Jamie berdansa di balkon diiringi lagi Someday we’ll know yang dinyanyikan Mandy dengan Jonathan dari lagu asli band New Radicals. AWTR menjadi film romantis kesukaan saya hingga saat ini.

Leafie : Fabel Kontemporer Yang Menginspirasi

Leafie

Tidak ada niatan sebelumnya untuk membeli novel ini. Bisa dikatakan secara kebetulan sekali. Waktu itu di tahun 2014, saya bersama teman dekat, mbak Icha panggilannya, pergi tanpa planning yang matang ke sebuah Festival Buku di Yogyakarta yang dihelat di Gedung Wanitatama. Kami berdua tidak berniat untuk membeli buku, there’s no enough money in our pocket, you know! Kami hanya ingin menghabiskan malam yang entah membuat kami sendiri saat itu “bosan”. Bosan dengan dunia perkuliahan yang notabene kami berdua melewati wisuda tahap pertama. Oke kembali ke topik awal yaaa….

Kami berdua berpencar saat memasuki gedung. Well, kami memiliki selera yang berbeda. Ketika saya mulai berjalan dan mengamati setumpuk buku-buku dimana-mana, kedua mata saya langsung kalap. Berubah menjadi hijau seperti melihat tumpukan uang berjuta-juta. Tapi yang saya lihat ini adalah buku. Saya berhenti di salah satu stand buku. Lupa stand dari penerbit mana. Saya langsung berkeliling melihat buku-buku di bagian meja bawah dimana tertulis semua buku diskon 50%. Hati siapa yang tidak tergiur dengan besarnya diskon tersebut dan terpampang buku-buku yang menurut saya masuk dalam list buku yang belum terkoleksi. Diantara tumpukan buku, saya terpikat dengan ilustrasi cover yang dominan berwarna hijau. Saat saya menggenggamnya dan membaca sinopsis singkat pada cover belakang, secara spontan saya tertarik membelinya.

Tokoh utama dalam novel ini adalah seekor ayam petelur. Leafie namanya. Dia memberi nama pada dirinya sendiri. Rasa kagum pada dedaunan yang tumbuh di dekat kandangnya. Kekagumannya ini karena melihat proses bagaimana dedaunan tumbuh, berguguran secara perlahan meninggalkan pohon dan terlahir kembali. “Dedaunan adalah ibu dari para bunga. Bernapas sambil bertahan hidup walau dihempas angin. Menyimpan cahaya matahari dan membesarkan bunga putih yang menyilaukan mata. Jika bukan karena dedaunan, pohon pasti tidak dapat hidup.” 

Leafie mempunyai impian yaitu bertelur dan mengeraminya sehingga bisa menjadi seekor induk seperti ayam betina yang hidup di halaman rumah. Namun hal tersebut tidak mungkin. Karena Leafie adalah ayam petelur. Telur yang dihasilkannya harus diambil untuk dijual oleh majikannya. Mengetahui impiannya tidak akan terwujud, Leafie merasa patah arang yang mengakibatkan mogok makan dan tidak menghasilkan telur yang baik. Makin lama tubuhnya kurus dan jelek. Disaat kondisi tubuhnya sakit dan sudah tidak layak untuk bertelur maka dia dibuang ke tempat penampungan oleh majikannnya. Kisah petualangannya dimulai dari sini. Dia tidak menyangka bahwa dia masih hidup dan selamat dari incaran seekor musang. Semua itu karena bantuan Bebek Pengelana.

Persahabatannya dengan Bebek Pengelana tidak langsung membuat kehidupan Leafie di luar kandang berjalan dengan mulus. Ancaman dari musang selalu menghantui. Tidak diterimanya Leafie dalam komunitas binatang di halaman rumah majikannya membuat Leafie harus mencari tempat tinggal yang aman. Perjalanan yang dilakukannya seorang diri mengantarnya bertemu dengan sebuah telur besar di balik semak-semak. Leafie tidak tahu bahwa telur tersebut milik Bebek Pengelana dengan kekasihnya, bebek Putih Susu. Impian Leafie menjadi kenyataan. Dia bisa mengerami telur tersebut dengan bantuan dari Bebek Pengelana yang selalu mengawasi dan menjaga mereka dari incaran musang. Disaat telur tersebut menetas dan melahirkan seekor anak yang lucu,Bebek Pengelana harus berkorban diri demi keselamatan Leafie dan anaknya. Pesan terakhir Bebek Pengelana pada Leafie adalah membawa anaknya ke bendungan.

Kehidupan Leafie beserta anaknya, Greenie, berubah drastis. Leafie menjadi sosok ibu yang setia melindungi dan mencarikan makan bagi Greenie. Perbedaan antara Leafie dan Greenie lambat laun disadari Leafie. Ancaman musang masih terus menghantui dan mengejar mereka. Leafie sadar tidak selamanya Greenie harus bersamanya. Greenie mempunyai kehidupan sendiri dengan jenisnya. Pesan terakhir Bebek Pengelana membuat Leafie sadar apa maksudnya. Setelah impian untuk memiliki telur, mengerami dan menjadi ibu telah tercapai, Leafie mempunyai impian terkahir yang hanya bisa diwujudkan dengan bantuan musang. Kehidupan itu ada kalanya harus berkorban. Poin penting tersebut yang saya dapat ambil di akhir cerita Leafie.

Novel ini masuk dalam kategori Fabel Kontemporer. Ditulis oleh Hwang Sun-mi, seorang professor sastra di Korea Selatan. Novel ini sendiri terbit pertama kali tahun 2000, dan di Indonesia diluncurkan pada tahun 2013. Novel Leafie telah dicetak lebih dari 1 juta eksemplar di 10 negara dan mencetak sukses yang luar biasa karena pesan moral yang disajikan untuk berbagai kalangan usia. Saya sendiri mengakui kepiawaian penulis dalam bercerita mulai dari alur dan karakteristik tokohnya diulas secara detail dan jelas. Penulis mengajak kita untuk bisa memahami bagaimana makna kehidupan itu sebenarnya bagi Leafie, yang secara lansung juga mempertanyakan pada diri kita sendiri.

Saya sangat menikmati ketika membaca novel ini yang disertai dengan ilustrasi gambar di dalamnya. Setelah saya ingat-ingat, novel ini menjadil fabel pertama yang saya baca. Secara tidak lansung menambah wawasan akan genre novel bacaan saya dan koleksi rak kamar. Sungguh sebuah “kebetulan” yang membawa saya pada rasa puas membaca karya salah satu penulis Korea Selatan. Kisah yang bercerita tentang mimpi, cinta dan pengorbanan. Karena orang yang memiliki mimpi adalah tokoh utama di muka bumi.

The Man From Nowhere : Nothing to lose, nothing to compromise

the man from nowhere

Pada dasarnya saya bukanlah penggemar film action. Saya cenderung menyukai film dengan genre romantis dan drama. Untuk pilihan action, biasanya saya melihat dulu bagaimana storyline, pemainnya, trailer dan lebih penting adalah review dari orang-orang yang telah menonton. Terkadang untuk pemain yang sudah saya tahu dan di film sebelumnya yang dimainkan bagus, maka saya pasti akan menonton filmnya yang lain. Seperti film ini, jujur, yang mendorong saya menonton film action ini karena Won Bin oppa. Akting di film-film sebelumnya saya akui dengan dua jempil saya. Saya pun tidak heran bila dia selalu pemilih untuk berakting di film apa saja.

Judul lain film ini adalah Ahjeosshi, diproduksi pada tahun 2010. Total, saya sudah 3 kali menonton film ini. Saya acungi untuk storyline yang disusun oleh Jeong Beom Lee sebagai seorang Writer sekaligus Director-nya. Bukan hanya action saja yang dapat ditonjolkan, tetapi dari segi cerita dramanya juga ditonjolkan dengan sangat sinergis bersamaan actionnya.

Berkisah tentang sisi kelam kehidupan tokoh utamanya, Cha Tae Sik (Won Bin). di pembukaan film kita diajak untuk bermain tebak-tebakan kenapa tokoh utamanya sangat gelap. Mulai dari penampilan yang jauh dari kesan kata “keren” dan minimnya dialog yang diucapkan membuat kita tidak bisa beranjak untuk terus mengikuti alur cerita. Penampilan Won Bin oppa di film ini sarat dengan ekspresi wajah sebagai bahasa komunikasinya untuk berakting. Berbanding terbalik dengan tokoh utama yang lainnya yaitu Jung So Mi (Kim Sae Ron). Dia merupakan tokoh penting sebagai anak kecil yang menjadi tetangga Tae Sik. Sering banyak bicara, entah apa yang diucapkannya akan didengar oleh Tae Sik atau tidak, dia tidak peduli. Tidak mengenal rasa takut untuk berada di dekat Tae Sik walaupun dia tahu bahwa Tae Sik merupakan sosok misterius.

Cerita film ini mulai menegang ketika So Mi menjadi korban penculikan karena ulah ibunya dan Tae Sik yang mengetahui hal tersebut tidak bisa berdiam diri. Di bagian ini saya mulai bisa bergumam dalam hati dengan kata “keren” yang saya tujukan untuk Tae Sik. Bermetamorfosa menjadi siapa sebenarnya Tae Sik dan apa yang membuat dia menjadi seperti ini dikisahkan secara flashback. Adegan action akan mulai banyak terlihat. Adegan sadis-pun tidak terlepas dari jalan cerita pada bagian klimaksnya. Saya sempat ngeri juga ketika darah dan organ-organ tubuh menjadi hal yang dominan. Tapi, itulah bagian esensinya yang ingin ditunjukkan bagaimana kejamnya dunia human trafficking. Yap, mulai berjalan ke klimaks, isu-isu sosial banyak ditonjolkan tanpa mengurangi tujuan utama ceritanya. Isu mengenai mafia atau premanisme, perdagangan obat-obat terlarang dan organ-organ manusia, eksploitasi anak yang sangat kejam ditampilkan dengan sangat jelas dan seperti nyata.

Ending dari cerita ini sempat membuat saya hampir frustasi melihat adegan yang dilakukan Tae Sik. But finally, sutradara mengakhiri cerita dengan tepat tanpa ada yang kurang dan lebih. Rasa terharu hampir mendominasi akhir dari ceritanya. Pada akhirnya mata saya berkaca-kaca. Apa yang menbuat saya tersentuh pada bagian ceritanya adalah hubungan Tae Sik dan So Mi yang tidak dilandasi dengan hubungan darah. Murni hubungan sebagai tetangga apartemen. Melalui hubungan mereka yang minim percakapan, kita bisa tahu seberapa dalam So Mi mempengaruhi kehidupan Tae Sik yang datar dan kelam. Ekspresi peran yang ditampilkan keduanya seolah menunjukkan ikatan batin yang kuat. Iringan backsong yang dibawakan oleh grup band Mad Soul Child dengan judul Dear sangat serasi dengan hubungan antara Tae Sik dan So Mi.Mengajak kita untuk ikut meresapi apa yang dirasakan oleh kedua tokoh utama.

Film ini memenangkan banyak penghargaan dalam berbagai festival diantaranya 19th Philadelphia Film Festival47th Daejong Film Awards8th Korean Film Awards31st Blue Dragon Film Awards13th Director’s Cut Awards2nd KOFRA Film Awards Ceremon47th PaekSang Arts Awards, dan 33rd Golden Cinematography Awards. Saya sangat merekomendasikan film ini sebagai film pilihan.

Tae-Sik Cha: “You live only for tomorrow.”

Man-seok: “What?”

Tae-Sik Cha: “The ones that live for tomorrow, get fucked by the ones living for today.”

Man-seok: “What are you babbling about?”

Tae-Sik Cha: “I only live for today. I’ll show you just how fucked up that can be.”

the man from nowhere 2

Novel 5 Centimeter per Second : Rasa Sakit Dari Kehilangan

5 centimeter per second novel

Setelah beberapa tahun yang lalu menonton movie-nya hingga lebih dari 3 kali, akhirnya kemarin saya selesai membaca versi novelnya. Novel yang ditulis langsung oleh Makoto Shinkai, selaku Director dan Screenwriter dari movie-nya, memiliki esensi yang berbeda dari menonton filmnya. Awalnya saya sempat ragu jika ekspektasi saya yang berharap harus lebih bagus akan dikecewakan karena saya sudah ‘jatuh cinta’ dengan animenya. Saya pernah mengulas film 5 centimeter per second sebelumnya menurut sudut pandang saya sebagai orang awam terhadap dunia anime. Kenyataannya, setelah saya menyelesaikan novel tersebut hanya dalam 2 hari, lalu menutupnya di akhir cerita, saya sejenak terdiam. Diam saya bukan karena kecewa. Diam saya karena, kenapa Makoto begitu “kejam” membuat saya mengingat kembali rasa kehilangan.

Sejauh yang saya tahu dari karya-karya Makoto memang membuat “galau” bagi penikmatnya. Dia memang berkata dalam novelnya bahwa karya-karyanya, pada dasarnya, memberikan arti apa itu “kehilangan“. Baginya, kehilangan adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari dari kehidupan siapa saja. Kehilangan adalah sesuatu yang harus dilalui dengan banyak cara. Jujur, saya terlalu benci jika membahas tentang kehilangan. Di satu sisi saya sadar bahwa ketika kehilangan itu ada, maka akan ada ganti yang muncul walau terkadang belum tentu sesuai dengan yang hilang. Apa yang disampaikan Makoto, dari sudut pandang saya tentunya, menyampaikan kehilangan dalam arti yang dalam. Dimana kehilangan sesuatu di awal akan berdampak pada perjalanan hidup kemudian.

Hadirnya novel ini memang sangat spesial. Pada filmnya lebih banyak menampilkan visual yang sangat menyayat hati. Sedangkan novel hadir sebagai pelengkap untuk lebih banyak menjelaskan secara detail apa yang dirasakan Takaki, Akari dan Kanae. Di dalam novel tetap menampilkan 3 bab utama seperti di dalam film : Bunga Sakura, Kosmonot dan 5 cm per detik. Bagian cerita dari bab 5 cm per detik lebih banyak dibandingkan 2 bab awalnya. Hal itu berbeda dengan filmnya dimana bagian 5 cm per detik sangat singkat.

Bagian bunga sakura menceritakan dari sudut pandang Takaki ketika SD bersama dengan Akari yang berlanjut dengan perpisahan pertama, lalu pertemuan dengan Akari ketika duduk di bangku SMP yang membutuhkan perjuangan dan diakhiri dengan perpisahan indah namun terasa sangat pahit di dalam. Ketika saya menyelesaikan bab pertama, sesaat saya menghela nafas panjang sebelum saya melanjutkan ke bab selanjutnya.

Bagian bab kedua dengan judul kosmonot menceritakan dari sudut pandang Kanae. Di dalam novel ini saya lebih bisa mengerti dengan baik siapa dan bagaimana perasaan Kanae. Hal itu awalnya tidak saya dapatkan secara intens di filmnya. Saya hanya mengerti sekilas saja apa yang dirasakan Kanae dalam film. Makoto sangat lihai menampilkan rasa sakit “yang lain” dari orang berbeda, maksudnya bukan tokoh utamanya. Setelah di bab awal kita cukup merasakan rasa kehilangan dari Takaki dan Akari, maka kita merasakan lagi rasa kehilangan dari Kanae.

Bab terakhir yaitu 5 cm per detik menjadi bagian yang lebih memuaskan untuk menutup cerita novel ini. Makoto mengambil cerita dari sudut pandangnya. Kita akan tahu bagaimana lengkapnya kehidupan yang dijalani Takaki setelah lulus SMA, memasuki dunia perkuliahan dan kerja di Kota Tokyo. Perjalanan kisah berpacarannya dimulai dalam bab ini. Total ada 3 perempuan yang menjadi pacarnya selama kuliah dan kerja. Dan kesemuanya berakhir dengan perpisahan yang cukup menyakitkan bagi Takaki. Walaupun sebenarnya, pacar ketiganya yaitu Risa Mizuno menjadi harapan saya untuk dapat menjadi yang terakhir bagi Takaki. Seperti yang diungkapkan Makoto, cinta pertama adalah kutukan yang akan menjadi pola kita berhubungan dengan orang lain seterusnya. Kegagalan Takaki dalam menjalin hubungan memang tidak terlepas dari apa yang ia rasakan terhadap Akari. Walaupun Akari pernah berkata pada Takaki, “Aku yakin kau akan baik-baik saja Takaki-kun.”

Ada bagian percakapan antara Takaki dan Mizuno yang saya sukai. Percakapan ini tidak ringan dan tidak berat, cukup menggelitik saya. Dan pada akhirnya Makoto menuliskan beberapa kalimat yang membuat saya sendiri berpikir mengenai diri saya sendiri.

Ia selalu bersusah payah mencari tempat dimana ia diterima. Bahkan sampai sekarang ia merasa ia belum menemukannya. Ia merasa ia tidak menggapai apa-apa. Itu tidak terasa seperti ia sedang mencari ‘diriku yang sesungguhnya’. Terasa seperti ia sudah setengah jalan melewati sesuatu. Namun dimanakah yang ia tuju?

Kenapa saya cukup tergelitik pada bagian kalimat tersebut? Secara tidak langsung pula Makoto seperti membicarakan tentang saya. Pada bagian hal ini, saya merasa seperti Takaki. Tetapi saya tidak ingin kisah yang lainnya pula sama.

Apa yang ingin disampaikan Makoto secara garis besarnya dapat saya tangkap. Makoto tidak mengajak kita “galau” dengan karyanya. Tetapi, dia ingin kita mempelajari bahwa selama manusia hidup akan mengalami terluka. Dan bagaimana cara kita bisa mengatasi luka kita masing-masing agar tidak terbawa pada hubungan selanjutnya. Antara film dan novel memiliki kekuatan masing-masing dalam bercerita. Pada film diperkuat dengan visual dan soundtrack lagu yang padu padan. Dalam novel memiliki kekuatan dalam menjabarkan secara runtun melalui kalimat yang mudah dipahami. Novel ini terkesan jauh dari cacat. Saya merasa puas setelah membacanya walaupun saya merasakan perih di dalam hati. Menutup novel ini, saya pun bergumam dalam batin. Takaki pasti akan baik-baik saja.

A Lot Like Love : “Don’t ruin it!”

a lot like love“there’s nothing better than a great romance to ruin a perfectly good friendship”

 Saya senang melihat review-review dari film lama. Tak terkecuali film yang satu ini. Film yang tayang perdana pada tahun 2005 (wow!! ketika saya masih SMP). Karena keahlian saya menyelam di dunia Google dan secara tidak terduga tahu tentang film ini, maka tak perlu menunggu waktu lama. Saya langsung mencari film ini dan menontonnya. Inti dari film ‘a lot like love’ ada pada tag kalimat diatas. Kita juga bisa menebak bagaimana ending dari film ini yang secara jelas pasti happy ending. Tetapi yang membuat saya menyukai film ini setelah menontonnya adalah cara pengemasannya, yang menurut saya dikemas dengan sangat sederhana dan alami. Colin Patrick Lynch menulis ceritanya tanpa dibuat-buat.

Oliver dan Emily adalah dua tokoh yang menjadi inti cerita ini. Di awal film, dari penampilan pertama mereka muncul sudah bisa kita nilai bagaimana karakter dari Oliver dan Emily. Pada dasarnya karakter mereka sangat bertolak belakang. But, love didn’t look anything. Pada saat saya menonton, saya sempat bergumam, “kok bisa ya Oliver tertarik dengan cewek seperti itu?” Pertemuan pertama mereka pun tidak bisa dikatakan dengan pertemuan yang manis. Tetapi pertemuan yang crazy banget. Emily tipikal orang urakan, sedangkan Oliver tipikal yang kalem banget. Setelah pertemuan tersebut, ikatan persahabatan diantara mereka terbentuk. Hubungan persahabatan mereka bikin saya ‘geregetan’ tiap kali nonton. Gimana gak, mereka saling menyadari kalo saling suka. Oliver ingin hubungan yang lebih dari sekedar teman, but Emily hanya dengan kalimat “don’t ruin it!” yang ia ucapkan cukup memberi gambaran bagaimana hubungan yang semestinya diantara mereka. Oliver paham dan mengikuti alur permainan agar tidak merusak suasana di antara mereka.

Waktu menjadi pembuktian bagi mereka. Tidak hanya dalam hitungan setahun atau dua tahun saja waktu menyadarkan mereka. Tetapi lebih dari 5 tahun. Dan dengan permainan waktu serta jalan cerita yang dikemas membuat ‘chemistry’ dari film ini hidup dan asyik untuk diikuti. Tak sekedar itu, soundtrack dari film ini pas dan keren banget. Ada 3 lagu yang saya suka dari keseluruhan soundtracknya, ‘Brighter than sunshine‘ by Aqualung, ‘if u leave me now‘ by Chicago dan ‘Look what u’ve done‘ by Jet.